Teh Lia, Hari yang kita tunggu dalam sebulan
akhirnya tiba juga. Hari dimana kedua orang tua kita bertemu, saling berucap untuk meneruskan keberanian seorang yang dikenal begejekan sebulan yang lalu. Teteh, hari itu tepat 22 Mei
2016 hal terindah dari hubungan kita, orang tuaku melamarmu ke orang
tuamu. Perasaan saat itu sungguh luar biasa, senang bercampur grogi, tangis
kebahagiaan pun ada dalam hati, karena akhirnya kamu benar-benar kukhitbah untuk
kujadikan istri.
Teh Lia, melalui tulisan ini, aku ingin mengungkapkan rasa yang tak pernah kualami selama ini, rasa
dimana Allah seperti menurunkan seluruh keberkahan-Nya padaku. Mungkin ini tulisan yang penuh dengan puisi seperti biasanya kuberikan padamu, aku harap melalui tulisan ini kelak akan jadi bukti, baik saat kita bersama maupun setelah dipisahkan
Allah dalam kematian, bahwa inilah pembuktian cintaku padamu, tanpa kau duga sebelumnya aku
serius melamarmu.
Masih ingat ketika itu, hari Jumat setengah tujuh
malam, aku naik kereta Majapahit pulang ke Nganjuk untuk menjemput orang
tua. Sebenarnya aku bisa saja nunggu mereka di Cirebon, namun teh, aku tak mau
seperti itu. Aku mau semua dipersiapkan sebaik mungkin, Minggu adalah hari
bersejarah buatku, jadi aku harus tahu sedetail mungkin apa persiapannya.
Setelah kulewati setiap stasiun, sawah, ladang,
hutan, bahkan tambak di pinggir pantai,aku tiba di Nganjuk jam 6 pagi. Sabtu
pagi, ya Sabtu pagi teh, ada perasaan yang tak biasa ketika aku di Nganjuk, aku
berfikir, esok aku akan melamar bidadariku. Akan kutunjukkan keseriusan cintaku
dengan mendatangkan orang tuaku ke rumahnya.
Belum hilang rasa lelah di kereta, aku harus
segera mempersiapkan keberangkatan lagi. Aku dan keluarga menuju kertosono,
kita memang akan berangkat lagi jam setengah 2 siang. Aku dan keluarga menuju
rumah Pak Puh yang ada di kertosono, dan hal yang membuat aku terkejut sesampai
disana adalah mereka benar-benar riweuh. Senang dan bangga saat aku melihat
keriweuhan itu. Bagaimana mereka dengan bahagianya menyiapkan berbagai macam
makanan dan bekal tuk di kereta. Itulah teteh persiapan orang desa yang memang
asalku dari gunung, aku bahagia, aku senang dengan tertawa mereka, senyum
mereka, tak bisa dilukiskan lagi, aku benar-benar bahagia.
Perjalanan pun dimulai, begitupun kamu teh, di
saat yang sama, Sabtu pagi kamu berangkat ke Cirebon. Dalam perjalanan hampir 12
jam itu, berbagai macam kelucuan dan canda tawa menghiasinya. Mulai dari budhe
yang nyari-nyari tempat tidur buat bersandar sampai bulek yang terkagum-kagum
dengan keindahan alam dari dalam kereta. Maklum teh, ini adalah kali pertama
bulek bahkan mak e naik kereta jarak jauh. Aku tertawa saja, namun di balik
tertawaku tersembunyi pikiran, besok seperti apa ya acaranya. Lamaran ini
benar-benar membuat aku berfikir lebih dari biasanya, rasa grogi bercampur
bahagia ada didalamnya.
Tepat 22.58 waktu Cirebon, kereta berhenti. Perasaan
grogi semakin kencang, malam itu aku benar-benar semakin bahagia teh. Kutelepon
dirimu menanyakan keberadaanmu dan kamu jawab menunggu di pintu keluar. Sesampainya
disana, kulihat senyummu mengembang, senyum calon istriku, senyum calon
bidadariku. Seperti biasa kamu selalu menggoda aku
“mau kemana ya mas, cari siapa?” katamu dengan
gaya khasmu menggodaku
kubilang dengan berbisik, “mau nyari Lia
Apriliani, mau kulamar hahaha”
Rasa lelah, rasa kantuk atau apapun semua
hilang saat senyummu mendarat di hatiku teh, aku benar-benar bahagia. Kita
berjalan menuju mobil jemputan A’ Iwan dan istrinya, mereka begitu baik dan
ramah. Meskipun berdesak-desakan, namun semua itu tak mengurangi rasa bahagiaku
saat bertemu denganmu malam itu. Perjalanan ke kuningan pun siap dan kita
bersama melewati pergantian malam minggu, bercengkerama, bergombal ria, dan
makan bersama. Sampai tiba tujuan kita, sebuah villa yang kamu persiapkan untuk
keluargaku.
Setelah kuantar pulang kamu, aku kembali ke
villa, menikmati udara malam lembah gunung cermai, sambil terus berfikir, aku
besok akan melamarmu, iya, melamarmu sebagai calon istriku. Tanpa terasa jam
setengah 2 pagi, perlahan kupejamkan mata sambil berdoa, semoga esok lancar dan
penuh dengan kebahagiaan.
Pagipun tiba, selesai sholat subuh,
kupersiapkan diriku sambil menikmati udara pagi lembah gunung cermai,
kupersiapkan diriku. Keluarga pun tak kalah, mereka mandi pagi-pagi sekali,
padahal acara kita jam 9. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, namun
kuyakin rasa bahagia tak terkira yang ada di dalamnya. Pagi itu aku bicara sama
pak puh, beliau banyak memberikan wejangan, mulai dari kekagumannya pada
keluargamu dan kepadaku yang tak malu mengenalkan keluarga desaku untuk datang ke
kuningan, ke keluargamu. Maklum teh, itu kali pertama juga mereka menginap di
villa, bahkan mak e sampai menanyakan tentang keluargamu, beliau takut dan
minder. Namun segera kujelaskan bahwa keluarga kita sama, aku dan lia niat
nikah bukan karena harta. Keluarganya pun menerima aku apa adanya, lalu
tersenyumlah mak e mendengar penjelasanku.
Setengah 9 pagi aku dan keluargaku dijemput Aa’
dan A’ Ony. Kita bersama siap datang ke rumahmu, membawa jajanan desa, entah
apa namanya, dan yang paling penting, membawa cinta dariku buatmu. Di
rumah, seperti biasa, kita berkumpul, ada bapak dan ibumu, keluargaku, aku dan
kamu yang bersanding di kursi rumahmu. Bapakmu membuka pembicaraan lalu Pak Puh
langsung menjelaskan maksud kedatangan keluarga, yaitu melamar Lia dan tanpa
basa basi terlebih dahulu, ahhh, aku jadi grogi banget waktu itu, seketika itu juga bapakmu menerima lamaranku. Aku benar-benar grogi teh, namun
karena semua mengalir begitu saja, banyak cerita, banyak bahan bicara, rasa
grogi mulai hilang, diganti senyum lebar penuh kebahagiaan.
Dalam suasana bahagia banyak perbincangan
diantara dua keluarga, mulai dari penentuan tanggal pernikahan kita, konsepnya,
sampai adatnya dibicarakan. Aku bahagia teh begitupun kamu, terlihat dari
senyum lebarmu. Aku bahagia karena aku telah benar-benar mengkhitbahmu, meminta
ke orang tuamu untuk kujadikan istriku. Akhirnya acara pagi itu kita tutup
dengan sesi foto-foto dan makan bersama. Semua berkumpul, gembira, penuh senyum
dan tertawa melewati proses lamaran yang tak akan dilupakan begitu saja. Rasa
lelah sejak Jumat di kereta, semua hilang begitu saja, karena Lillahi Ta’ala. Terima
kasih teh Lia, sambutan hangat dari keluargamu semakin menguatkan aku untuk
menyiapkan diri menjadi suami terbaik buatmu.
Kuningan, 22 Mei 2016
Lelah yang Lillah
Sejarah
panjang terbentang
Dari Nganjuk
sampai ke Kuningan
Melewati rumah,
sawah, ladang, dan hutan
Membawa seberkas
sinar harapan
Harapan terbalut
dalam sebuah lamaran
Menyatukan kasih sayang dan cinta
Dua insan anak manusia
Mempererat
dua keluarga
Dalam naungan
doa bahagia
Aku dan Kamu akan
menjadi kita