Ya itulah panggilanku
padamu,
Sahabatku,,,,
Sahabat berbagi
cerita, patner begejekan bareng, dan teman curhat. Tak ada tabir pemisah saat ngakak bareng. Namun semua seolah berubah
menjadi serius kala itu. Saat itu kita bicara dari hati ke hati, bercerita
tentang keluarga, pekerjaan, cita-cita, masa lalu dan hal lain tentang
masing-masing.
Waktu magrib di malam
Jumat, masjid kantormu menjadi saksi. Aku tak melihat kedatangan mu, namun tiba
tiba terdengar suara, “nggak perlu disisir, udah ganteng kok”. Kebiasaan
menyisir rambut setelah wudhu pun beberapa saat terhenti hanya untuk mencari
sumber suara itu. Itulah kali pertamanya ku melihat wajahmu kembali setelah
hampir 5 bulan tidak bertemu. Hanya senyum simpul khas ku padamu yang dapat
kuberikan untuk merespon perkataanmu.
Setelah sholat
magrib, aku menemuimu yang sudah menunggu di depan masjid. Di sana banyak rekan kerjamu yang tidak ku kenal..
“Siapa dia?” tanya
salah satu dari mereka,
“Temanku dari Senayan”,
jawabmu,
akupun hanya tersenyum
pada mereka.
“teteh tahu McD nya?” tanyaku untuk memecahkan percakapan pertama diantara kita.
“nggak tahu hahaha,
ya kita cari saja ” kamu jawab seolah tak berdosa
“ok deh, kemana kita
sekarang?” kataku
“ke ruanganku dulu
yuk”, saat itu kau mengajakku, dan ternyata ruanganmu sudah berbeda, kamu tak
menempati ruangan yang dulu kau tunjukkan kepadaku.
Ya,,,, sudah sekitar
hampir setahun yang lalu. Bahkan aku merasa lama sekali tak mengetahui
kondisimu, bagaimana pekerjaanmu, segala apapun tentangmu. Namun satu hal yang
tak pernah berubah, yaitu tertawa lepas begejekan sepasang sahabat
hehehe
“mau kemana kita?”
tanyamu
“ke McD lah, kemana
lagi, masak depan kosanmu hahaha” jawabku sambil ketawa
Namun bukan jawaban
itu yang kau harapkan
Kau mengulangai
pertanyaan yang sama, “mau kemana kita?”
Lalu kau
meliuk-liukkan tangan sambil tertawa khasnya dirimu dan berkata “bersenang-senang hahaha”
Tibalah kita di
gedung B lantai 3. Aku melihat ruang kerjamu lalu duduk disamping meja kerjamu
dan memperhatikanmu saat berkemas barang untuk siap-siap pulang. Mataku tertuju
pada salah satu lembaran kertas yang
menempel pada dinding meja kerjamu. Disana tertulis, sekretaris Lia Apriliani
Aku tak menyangka, bahwa saat ini engkau telah
menjadi seorang sekretaris subdit.
Untuk memastikan
bahwa aku tak salah melihat tulisan, aku pun bertanya “sampean jadi sekretaris
ya?
“hehehehe, iya mas…”
jawabmu
Tak lama kemudian
kita kembali berjalan menuju tempat parkir motor yang berada dekat dengan
gedung lama tepatmu bekerja.
Dalam perjalanan, kita
bercerita, namun belum pada intinya.
Ya seperti biasanya,
kamu masih seperti 5 bulan yang lalu. Begejekan, tertawa lepas, dan satu hal
lagi yang tak hilang darimu, gombalanmu haha. Iya kau suka menggombal padaku,
hingga kau buat aku tak berdaya. Itulah kita,,,,Ya kita…..tanpa jurang pemisah,
tanpa sekat, karena kita adalah sahabat.
Cerita di McD pun
dimulai,,,,
Kamu pasti tidak tahu
apa yang aku rasakan saat itu. Jantungku seolah berdegup kencang, tak seperti
biasanya saat bertemu denganmu, kaki terasa kaku, otak penuh dengan
pikiran-pikiran yang selalu bertanya-tanya “apa yang harus kukatakan pertama
kali???ya Allah,,,,,, apa ya?”,
Namun kamu masih
dengan ketidakpekaannya terhadapku, tidak memperhatikan bagaiman ekspresi dan gerak tubuhku. Kamu
masih bercanda, memberikan senyuman khas dan tertawa lepas seperti dulu.
“mau pesen apa?” aku
mulai membuka pertanyaan
“mas nya dulu, mau
apa?” itulah kebiasaanmu, saat ditanya
malah balik nanya
“ya sudah aku pesen ayam,
nasi, es milo, dan air mineral” kataku
“aku mau es krim sama
kentang”, timpalmu
“nggak nambah lagi?
Kan kamu belum makan” heranku padamu
“kan aku vegetarian
hahahaha” celotehmu sambil tertawa,
karena aku tahu kamu juga suka daging
“kita mau di bawah
atau di atas?” tanyaku padamu
“emmm…di atas aja
gimana?” jawabmu
“ok deh, sini aku
yang bawa”, sesaat setelah pesanan kita
sudah siap
Aku pun mengarahkan
untuk di pojok atas, ya disitulah tempat yang akan kujadikan saksi bisu
ungkapan keseriusanku padamu.
Setelah beberapa saat
kita makan dengan santainya kamu pun membuka pembicaraan.
“aku empat
bersaudara, kakakku pertama laki-laki, yang nomer 2 perempuan, 3 perempuan, dan
yang keempat aku. Anak pertama tinggal di Kuningan, yang kedua di Bekasi, dan ketiga di Karawang”
“Semuanya tidak ada
yang lulusan S1, kecuali aku, jadi pasti masnya tahu sendiri kan kenapa aku
harus tetap kerja” timpalmu mengingatkanku bahwa dulu aku pernah bercerita
tentang keinginanku memiliki istri yang
berpendidikan tinggi namun mau jadi ibu rumah tangga.
Dan saat itu aku
merasa ini sudah serius dalam obrolan kita.
“ok, aku 2
bersaudara, punya bapak sambung, dan dia bawa anak 2, jadi kita 4 bersaudara,
adikku sudah menikah satu yang cewek, yang satu cewek kerja di hongkong, dan
satu masih kuliah di Nganjuk yang lelaki, aku masih nanggung adikku untuk
kuliahnya, dan aku masih punya hutang di koperasi untuk orang tuaku menyewa
sawah, jadi jika kita bersama, pasti 3 tahun ini gajiku tak akan utuh, dan aku
ijinkan kamu tetap berkerja, karena dalam setiap doaku, aku menyelipkan rasa
syukur ketika aku tak mendapat apa yang aku inginkan teh. Memang aku ingin
istriku jadi ibu rumah tangga, tapi rasa syukurku akan selalu ada ketika aku
mendapatkan seseorang yang tetap mau bekerja, itu doaku” aku katakan yang
sebenarnya tanpa ada yang ditutup-tutupi padamu
“masalah harta, aku
tak masalah, aku butuh orang yang serius” jawabmu
“insyaAllah aku
serius, aku sudah tak mau pacaran lagi, kalaupun pacaran, itu setelah nikah
saja” jawabku dengan penuh keyakinan
Kamu tersenyum, entah
apa yang kamu rasakan, namun aku melihat rona wajahmu saat itu menandakan
kebahagiaan yang mungkin belum pernah kamu rasakan selama ini.
“maukah kamu menikah
denganku?” tanyaku dengan tegas
Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirmu, yang
ada hanya tanda anggukan dari kepalamu, menandakan bahwa kamu siap untuk
kupinang menjadi istri.
“tapi, aku kurang
ganteng untuk seorang sepertimu teh?”tanyaku agak ragu
“aku tak melihat
fisik seseorang, aku juga banyak kekurangan, buat apa ganteng tapi nggak
serius” jawabmu yang membuat aku lega waktu itu
“jadi kapan kita ke
rumah?” langsung kutanya itu padamu, yang mungkin membuat kamu kaget
“kalau Sabtu ini
gimana?” jawabmu seolah menguji keseriusanku
“ok, Sabtu kita ke
rumah” tegas dan penuh percaya diri aku katakan padamu
Dan kamu kaget
setengah mati, syok dengan jawabanku, di satu sisi kamu mengenalku sebagai seseorang
yang tak pernah serius ketika bicara, selalu begejekan, , namun pada saat itu
kamu melihat sisi lain dari diriku, sisi lain seorang sahabat yang kau kenal
selama ini.
“aku masih nggak
nyangka, masih syok” katamu
“aku juga, aku aja
yang bilang syok, apalagi kamu hahahaha” celotehku membuka tertawa lagi
diantara kita
Dan entah kenapa,
tiba-tiba hp mu berbunyi, kau lihat siapa yang menelepon, ternyata itu dari
ibumu
“ini ibu telpon”
katamu
“mungkin ibu merasa
hehe” timpalku
Kau angkat telpon,
entah apa yang kau bicarakan, aku tak
mengerti bahasamu. Aku yang bersuku Jawa dan kamu yang bersuku Sunda. Namun di
akhir-akhir obrolanmu, aku mulai agak paham. Intinya kamu meminta ibumu untuk
bicara padaku, Kamu memberikan hp itu
padaku.
Kali ini, kamu
memperhatikan bagaimana ekspresi tubuhku, tanganku gemetar, jantungku berdetak lebih
cepat dari biasanya, aku bingung mau mengatakan apa, ibumu berbicara dalam bahasa
Sunda. Adduuuhhh……alamak aku nggak ngerti, lalu hp langsung kuberikan padamu. Kamu
mengatakan padanya bahwa pakai bahasa Indonesia saja,mas nya ga bisa bahasa
Sunda. Kira-kira begitu percakapanmu dengan ibumu. Sekali lagi aku bicara pada
ibumu, masih dalam keadaan bergetar tangan, detak jantung yang semakin kencang
dan pikiran-pikiran yang tak tahu harus bicara apa, bahkan puncaknya saat
bicara sama bapakmu, aku keliru menyebutkan tempat kerjaku. Kamu menahan tawa,
iya kamu menahannya, aku tahu itu. Dan ketika telpon ditutup, kamu tertawa
lepas, menertawakan kegrogianku saat bicara sama orang tuamu.
“kamu kelihatan banget
mas groginya hahahahha” katamu
“hahaha, iya e, aku
grogi banget, nggak tahu harus bicara apa, syok haha” kataku padamu dan saat
itu kita tertawa berdua
Ya begitulah yang aku
rasakan, rasa senang bercampur grogi dan juga syok karena tak menyangka, sahabatku,
yang selama ini menjadi teman curhatku akan aku pinang untuk menjadi istriku.
Begitupun kamu, juga masih kaget dan merasa seperti mimpi bahwa kamu akan
kunikahi. Entahlah apa yang ada di pikiran kita waktu itu, namun yang kuyakini
adalah kamulah jodohku, jodoh yang disiapkan Allah untukku, di balik lika-liku
perjalanan cintamu dan cintaku yang tak pernah menemui hasil akhir, ternyata
orang terdekat yang selama ini saling mendukung hubungan masing-masing, akan
menjadi sepasang suami istri dalam maghligai rumah tangga.
Malam semakin larut,
kita ngobrol santai seperti di pantai, slow seperti di Solo, damai seperti di
Dumai. Membicarakan tentangku, tentangmu, dan tentang kita di masa depan. Malam
itu sudah agak mencair seperti biasanya, bercanda tawa tanpa sekat dan tabir
pemisah, tertawa sambil begejekan berdua Itulah kita, sepasang sahabat.
Akhirnya, waktu
menunjukkan pukul 20.30, kamu terlihat mengantuk sekali. Lalu kita pulang
dengan perasaan lega namun masih membawa rasa ketidakpercayaan, bagaikan mimpi
saja, yang semula hanya sekedar teman
curhat, nanti akan berumah tangga.
Allah tahu jodoh yang
terbaik buat kita, dan kamulah yang dipilihkan Allah untukku, Teteh.
Kamis, 21
April 2016
Di Sudut
Pojok Atas McD
Terima
kasih ya Allah
Kau
anugerahkan rasa cinta untukku padanya
Rasa
cinta dari sahabat untuk sahabatnya
Kini,
kami akan belajar untuk menapaki hal baru dari kami
Bersama
dalam maghligai rumah tangga
Ridhoilah
kami, lancarkan proses kami, dan mudahkanlah kami
Menuju
gerbang menggapai kesempurnaan agama-Mu
Dalam
seikat tali
Tali
pernikahan yang suci
Mantep mas didik, keren, dan terharu juga bacanya. Ikut ngerasain klo lg di posisi mas pas lagi baca tulisan ini
BalasHapus