Percakapan sederhana yang aku bicarakan dengan istri sehabis sholat isya
membuat semua seakan sudah nyata. Merencanakan kebutuhan anak dalam pendidikan,
menyatukan pendapat untuk sang buah hati, semua seolah tergambar dalam balutan
percakapan itu. Diawali dari bersandarnya istri ke pangkuanku, tiba-tiba ia
mulai pertanyaannya. Menanyakan bagaimana pandanganku tentang akademik anak,
apakah nanti akan kita tuntut atau bagaimana.
Dari situ aku teringat dulu sebelum menikah, aku ingin kelak anakku
mendapatkan pendidikan terbaik. Hal itu pasti yang diharapkan dari semua orang
tua di muka bumi ini. Namun semua itu tak akan pernah tercapai jika tak
direncanakan dan diwujudkan.
Seketika itupun aku bercerita ke istriku, dia dengan sabarnya
mendengarkan kata per kata, kalimat per kalimat yang aku kemukakan, kurang
lebih seperti inilah yang aku katakan “Gini beb, aku orangnya tidak mau
menuntut akademiknya, yang penting akhlaknya, karena itu nanti yang akan
membawa manfaat buat orang lain, namun tak menutup kemungkinan dia juga harus
pintar. Aku punya angan-angan, aku tak mau memasukkan anak kita ke sekolah
negeri. Bukan berarti sekolah negeri itu nggak baik, coba deh dari pengalaman
kita di sekolah negeri, kebanyakan yang dituntut adalah pintar, tetapi akhlak
nya kurang diperhatikan, sekolah-sekolah berlomba-lomba menjadi sekolah dengan
nilai UNAS tertinggi, berlomba-lomba yang paling banyak masuk PTN favorit,
hanya otaknya yang dipikirkan, meskipun tak semuanya sekolah negeri begitu. Aku
punya rencana, nanti ketika SD anak kita akan kita sekolahkan di sekolah
swasta, sekolah islam, sekolah yang memberikan pembelajaran akhlak yang baik.
Itu harapanku beb, kalau pintar kita bisa ngajarin, tapi kalau akhlak, kita kan
sama-sama kerja, ya guru-guru di sekolah yang kita harapkan. Bahkan nanti
ketika SMP aku ingin anak kita masuk pesantren. Karena aku tak ingin hanya
memikirkan dunia saja, kita harus pikirkan akhirat, jadi aku tak menuntut anak
kita pintar yang utama akhlaknya baik”.
Begitulah lebih kurangnya apa yang aku katakan ke istri. Respon istri
sungguh membuatku tenang dan senang. Kami sehati, kami sama-sama ingin yang
terbaik untuk anak kami. Kami tak ingin menuntutnya karena anak punya kelebihan
di bidang lain, kami ingin membentuk karakter yang baik ke anak, dan semua itu seolah tanpa ada perbedaan pendapat di antara
kami, satu hati satu pikiran untuk sang buah hati tercinta.
Kawan-kawan pembaca, kami bukan berarti menjustifikasi bahwa sekolah negeri itu kurang baik, swasta pun belum
tentu baik, kita punya cara masing-masing untuk mendidik anak, kita punya
rencana masing-masing untuk pendidikan anak. Ada yang ingin masuk di sekolah
negeri favorit, ada yang ingin masuk sekolah yang paling mahal, ada juga yang
penting sekolah, bahkan ada juga yang tak mau anaknya sekolah. Semua itu adalah
hak masing-masing, dan yang pasti semua orang tua pasti ingin memberikan yang
terbaik buat anaknya. Dan kami pun sadar akan hal itu, oleh karena itu, kami
akan bersama dalam keluarga kecil ini, belajar untuk memberikan yang terbaik
untuk buah hati kami kelak.
“Di dunia ini tak ada satupun universitas yang memberikan gelar profesor
orang tua , oleh karena itu dibutuhkan waktu sepanjang hayat untuk terus
belajar, belajar menjadi ayah dan ibu yang terbaik untuk buah hatinya”
lidicinta, 2017